Di dunia yang terus berubah, di antara kata-kata yang beradu, logika yang dibangun, dan sistem berpikir yang dibela mati-matian… saya mulai memahami satu hal penting: Bahwa kebenaran itu tidak pernah benar-benar mutlak.
Refleksi atas Kebenaran yang Tidak Mutlak dalam Kehidupan
Apa yang disebut benar, sering kali hanya cocok dengan sistemnya.
Apa yang disebut salah, kadang hanya tidak cocok di tempat dan waktu tertentu.
Contoh kecil yang saya temui:
Seorang anak belajar bahwa 1 + 1 = 2
Lalu bertemu pelajaran baru: 1 + 1 = 0 (dalam sistem bilangan biner)
Apakah yang pertama salah? Tidak.
Apakah yang kedua ngawur? Juga tidak.
Yang berubah hanyalah sistem yang memaknai.
Saya mulai menyadari:
Kita hidup dalam relasi, bukan mutlak.
Benar dan salah saling mendefinisikan satu sama lain. Kita tahu satu karena adanya yang lain.
Namun pada akhirnya, semua “kebenaran manusia” itu memiliki satu kesamaan:
Rentan terhadap konteks.
Hari ini sesuatu dianggap salah, besok jadi benar karena zaman berubah.
Sesuatu yang benar menurut adat, bisa dianggap keliru di mata hukum.
Benar di mata mayoritas, belum tentu benar di hadapan nurani.
Bahkan… yang benar bagi satu orang, bisa dianggap sesat oleh orang lain.
Lalu, apakah itu membuat saya ragu terhadap kebenaran?
Tidak. Justru sebaliknya.
Semakin saya menyadari betapa lenturnya kebenaran di dunia ini,
semakin saya meyakini satu hal secara teguh, bahkan tanpa bantuan logika:
Bahwa satu-satunya kebenaran mutlak hanyalah milik Sang Pencipta, Allah.
Bukan karena saya bisa membuktikannya,
tapi karena akal saya justru mentok di batasnya.
Saya tidak sedang memaksa siapa pun untuk setuju.
Saya tahu banyak orang mendefinisikan kebenaran dari sains, moral, budaya, bahkan pengalaman pribadi.
Dan saya tidak menyalahkan itu.
Karena saya pun pernah mencarinya dari sana.
Tapi pada akhirnya, semua bentuk kebenaran itu—secerdas apa pun kelihatannya—terikat pada batas-batas manusia.
Jadi… saya tidak mengatakan “kebenaran itu relatif.”
Tapi saya mengatakan:
Segala yang berasal dari manusia, bisa keliru. Dan segala yang berasal dari Allah, adalah hakikat kebenaran yang utuh.
Karena Dia tidak terikat logika. Tidak terikat sistem. Tidak terikat zaman.
Penutup:
Saya menulis ini bukan sebagai orang yang tahu segalanya.
Saya hanya ingin jujur atas apa yang saya pahami, dan membagikannya secara tenang.
Bukan untuk diperdebatkan,
tapi untuk direnungkan bersama.
Karena mungkin… yang kita cari selama ini,
bukan untuk selalu menjadi benar —
tapi untuk berani rendah hati di hadapan kebenaran yang sejati.